Dalam ketiadaan ku di hidup mu aku tetap bahagia, dan dalam diam ku aku masih setia mencinta
Kuberanikan diri untuk menulis surat ini,
teruntuk kakak yang kepada mu aku jatuh hati…
Aku bukan orang yang mudah terlena pada
romansa ala anak muda seusia. Hati ku tak mudah tertuju pada satu pintu karena
sulit bagi ku untuk percaya kan kalbu ku. Jadi jika suatu ketika aku mulai
melirik, aku pastikan aku tak hanya sekedar tertarik.
Susah bagi ku untuk menyadari, bahwa pada
akhirnya kau membuat ku teralih dari dunia yang sudah nyaman aku geluti, dunia sepi.
Pertemuan pertama menyisakan rasa kagum tiada tara. Ku baca profil mu, dan aku
langsung memantapkan hati bahwa kau akan jadi panutan ku. Aku add facebook mu, aku baca petikan-petikan
kata yang kau tulis di laman mu. Sungguh, saat itu kau benar-benar jadi
penyemangat studi ku.
Suatu ketika, dengan rencana indah Nya kita
dipertemukan dalam kegiatan yang tidak pernah kuduga. Tentu, kau tak mengenal
ku kala itu. Namun, ketahuilah bahwa sorak-sorai bahagia menggemuruh di dalam
dada. Alasan nya sederhana, aku bertemu, bertatap muka dan bercerita pada sang
idola. Bertemu hampir setiap hari untuk kurun waktu yang (bagiku) cukup lama
membuat ku mengenal mu jauh lebih banyak dari sebelum nya. Ketika dulu aku
mengenal mu sebagai sosok yang cerdas, lambat laun aku menyadari bahwa kata
cerdas tak bisa mewakili pribadi mu. Kau memiliki aura untuk menciptakan senyum
dan tawa di bibir semua. Rendah hati dan selalu percaya diri. Selalu berusaha
dan tak pernah lelah menyemangati. Dengan intensitas pertemuan itu dan semakin
jauh aku mengenal pribadi mu, tanpa kusadari aku telah jatuh hati. Ya, aku
telah jatuh hati…
Aku suka pada baik mu untuk sesama. Aku
suka pada setiap tawa yang kau ciptakan pada setiap canda. Aku suka pada
semangat mu yang tak berhenti menciptakan manfaat untuk semua. Dan aku suka
pada pemikiran mu yang selalu berhasil membuat orang terpana. Aku suka, karena
aku menyadari bahwa kau selalu meyakinkan orang bahwa mereka luar biasa…
Tapi aku cukup tau diri. Aku manusia serba
biasa yang tak punya apa-apa untuk buat kau bangga. Dan lagi, aku wanita.
Manusia yang hanya bisa melembutkan rasa dan menundukan diri menutupi gejolak
yang tercipta. Tak ada secuil pun keberanian untuk menyampaikan rasa, karena
aku tau aku bukan apa-apa. Lalu, dengan semua pertimbangan yang ada, aku
putuskan untuk mencintaimu dalam diam dan menyambangi mu lewat untaian doa…
Untuk waktu yang lama, aku mengintai kabar
mu lewat dunia maya. Aku pasang mata, dan pasang telinga. Meski tak bisa bertatap
muka, tapi mendengar kabar mu aku sudah bahagia. Melihat kau tersenyum,
tertawa, dan bersemangat dengan kawan-kawan mu adalah momen yang berharga.
Meskipun, dalam semua hal-hal itu, aku tak ada. Namun dalam ketiadaan ku di
hidup mu aku tetap bahagia, dan dalam diam ku aku masih setia mencinta…
Hidup terus berjalan, dan aku berjuang
untuk menciptakan makna. Suatu hal besar yang mungkin bisa jadi alasan bagi ku
untuk membuat mu bangga. Dengan penuh perjuangan, akhirnya aku mencapai titik
tertinggi untuk menciptakan cerita bahagia. Kau menyadari itu, dan kau
sampaikan bahagia dan bangga mu untuk ku. Sungguh, dalam periode aku mencinta,
titik itu adalah puncak rasa. Sayang nya, layaknya kembang api yang dimainkan
di awal tahun matahari, puncak rasa ku hanya bertahan pada masa selentingan
jari. Kita hilang komunikasi meski bulan terus berganti. Sedih nya, aku masih
setia mencinta mu dalam sepi. Hingga, suatu ketika aku dapat kabar bahwa kau
tak lagi sendiri…
Aku tahu, jika aku tak berjodoh dengan mu,
maka penantian ku adalah perjuangan semu. Mencinta dalam diam membawa
konsekuensi untuk melepas tanpa pernah menggenggam. Bergelung dengan kisah
cinta seorang diri memungkinkan ku untuk sedih dalam sepi. Dan… itu semua
terjadi…
Aku sedih, meski aku selalu berdalih. Aku
menangis sembunyi-sembunyi karena takut ada orang yang mencurigai. Karena
sedari awal aku sudah memutuskan untuk mencintai mu seorang diri, maka pada
saat sedih pun aku tetap seorang diri. Dan aku memang… patah hati…
Ketika bulan berganti, pada akhirnya aku
memutuskan untuk berhenti meratapi. Aku harus sadar bahwa sedih adalah
konsekuensi. Dan tidak baik bagi ku untuk selalu berharap pada segala yang
sudah tak pasti. Lalu, aku berjuang untuk menghentikan rasa yang sudah lama
mengakar dalam hati…
Butuh waktu cukup lama bagi ku untuk
menulis rangkaian kata ini sebagai salam perpisahan untuk mu, kak. Hari ini,
kuputuskan untuk ucapkan selamat tinggal pada mu. Aku harap sekarang kau
bahagia dengan nya yang selalu kau damba. Dan aku menunggu kabar kalian
mengucap janji setia.
Terima kasih karena sudah selalu menjadi
penyemangat tiada henti. Dan terima kasih karena sudah menciptakan kisah indah
di hidup ku yang monoton ini. Kini, ketika kulihat posting-an mu di dunia maya, aku dengan bahagia bisa tersenyum dan
berbisik dalam hati “ini dia kakak yang pernah membuat ku jatuh hati dan
menjadi alasan bagi ku untuk selalu memperbaiki diri..”
Selamat berbahagia, kau yang membuat ku jatuh
cinta…
*pict credit to google
0 comment:
Posting Komentar