Sepasang mata sendu itu masih sama. Memandang pada orang yang sama. Dengan kesedihan yang sama. Dengan gundah hati yang sama.
Tak
tahukah kau, sayang, bahwa pedih yang kau rasa tak hanya jadi milikmu. Kau
terlalu buta akan kasihmu padanya, hingga kau sama sekali tak peka dengan
sekelilingmu. Hatimu lumpuh, sensitivitasmu turun drastis. Kau selalu merasa
bahwa duniamu telah runtuh dan mengkhianatimu. Pada akhirnya kau meng’aku’kan
kesedihan. Bahwa lara hati adalah hidupmu.
Yang
sesungguhnya terjadi adalah.. ketika kau merasakan lara hati, lalu tenggelam
dalam pedihmu sendiri, kau juga me’lara’kan hati orang terdekatmu yaitu aku.. Aku
bahagia, ketika kau memutuskan untuk bersama dengannya. Aku masih ingat senyum
sumringah itu, ketika kau bercerita heboh tentang si dia yang kau damba. Meski
hati ini pilu, senang hati tetap ada melihat kau bahagia. Namun ketika kau
terpuruk seperti ini karena khianat cinta si dia, aku jauh lebih menderita. Ya,
memang dengan begini aku memiliki kesempatan lagi untuk menjadi rumah segala
rasamu. Tapi aku tak bisa melangkah jika kau sebegini pilunya.
Sayang,
berhentilah menangis. Sudahi sedih panjangmu ini. Aku tak melarangmu menitikkan
air mata, bukan itu. Aku percaya bahwa kesedihan adalah warna-warni hidup, yang
tanpanya kau tak kan pernah merasakan indahnya kebahagiaan. Tapi janganlah kau
merasa kesedihan adalah hidupmu, karena aku ini lebih lama terkurung dalam gua
kepedihan. Jadi, sayang, bangkitlah dari sedihmu ini, bukan demi aku atau si
dia, tapi demi dirimu sendiri. Hidup terlalu singkat dan berharga untuk
dihabiskan dalam genggaman kesedihan.
Cilacap, 28 Desember 2015
0 comment:
Posting Komentar