Lukisan langit senja adalah kesukaanku. Karya luar biasa ciptaan Yang Maha Kuasa. Menikmati langit senja tak pernah kulewatkan. Langit yang bersemu jingga dan nampak seperti bertaburan emas, amat menawan hati. Hingga kini aku selalu memuji keindahannya. Betapa Tuhanku adalah Tuhan Yang Maha Baik, memberikan pemandangan seindah ini secara gratis dan kontinu setiap hari.
Rasa syukurku
kian bertambah kala aku menyaksikan jingga langit senja. Ah... betapa Alloh
sangat baik padaku. Nikmat yang Dia curahkan untukku rasanya teramat banyak. Amat
sangat banyak. Tak terasa air mata ini mulai menitik... Ya Alloh, sungguh
Engkau adalah Tuhanku yang Maha Agung. Maafkan aku, dulu aku sempat
membenciMu...
***
Menjadi
mahasiswa adalah keinginanku. Keinginan terbesarku saat aku duduk di bangku
SMA. Bersama kawan-kawanku, aku mencoba merangkai asa. Satu demi satu, aku
mulai membangun mimpi-mimpiku dan mencoba merajutnya menjadi nyata. Mulai dari
masuk SMK favorit, menjadi siswa berprestasi, aktivis di sekolah dan
mimpi-mimpi anak muda lainnya. Jiwaku yang masih fresh merasa sangat bergairah kala itu. Bekerja keras, berusaha
melakukan dan menjadi yang terbaik, adalah prinsip hidupku.
Hari-hariku tak
pernah lepas dari belajar, belajar, dan belajar. Bahkan aku jarang menghabiskan
waktu bermain. Buku, ibarat tv bagiku. Buku memberiku kesenangan. Tak jarang
karena itu, aku diolok-olok temanku. Kutu buku, bookers, study holic? Aku
tak ambil pusing dengan julukan itu. Aku berbeda? Memang apa salahnya? Pokoknya
bagi sebagian orang, hidupku terlihat sangat sangat membosankan.
Sejalan dengan
kerja kerasku itu, alhamdulillah, aku
selalu mendapat apa yang aku inginkan. Semuanya terlihat mudah, aku sangat
bersyukur untuk itu. Aku merasa aku bisa mendapatkan apapun yang aku inginkan.
Apapun! Sayangnya, kemudahanku mendapatkan semua inginku hanya berlangsung
sampai aku kelas 3 awal. Entah ke mana, semua keberuntunganku lenyap. Lalu,
hari demi hari di berbagai kesempatan aku menemukan diriku terombang-ambing
dalam ketidakpastian.
***
Kelas 3, masa
penghujung SMK. Di tengah kesibukan menghadapi Ujian Akhir Nasional, aku harus
pula memulai merencanakan kelanjutan studiku. Akan ke mana aku menuntut ilmu
selanjutnya? Di mana? Bagaimana? Dan bidang apa yang akan kuambil.
Saat itu, banyak
guru-guru dan kawan-kawanku membantuku. Mereka memberikan pandangan mereka
mengenai rencana kuliahku. Beberapa kampus mereka rekomendasikan untuk menjadi
tujuan belajarku. Ah... sungguh aku dikelilingi orang yang baik, amat sangat
baik. Tentu aku bersyukur untuk itu.
Setelah
menimbang ini itu dan mendengarkan ocehan sana-sini, dengan percaya diri aku
mendaftarkan diriku dalam SNMPTN di Universitas X dengan mengambil jurusan A.
Semua orang di sekitarku mendukungku. Mereka percaya aku pasti lolos seleksi
tersebut. Begitu pula denganku, aku amat yakin aku akan diterima.
Hari-hari
setelah pendaftaran SNMPTN, aku menyibukkan diriku untuk belajar menghadapi
Ujian Akhir Nasional. Suasana sekolah juga membuatku berkutat pada buku-buku
latihan soal. Guru-guru benar-benar membimbing kami dengan keras dan ketat. Tak
hanya itu, bahkan jam sekolah ikutan ditambah. Benar-benar paket plus-plus. Hal
yang positif adalah, kami dapat bertempur dengan soal-soal Ujian Nasional
dengan baik.
Ujian Nasional
sudah berlalu. Detik-detik yang menegangkan telah usai. Kini aku menanti
pengumuman Ujian Nasional sekaligus pengumuman SNMPTN. Ah... Aku yakin sekali
aku akan lolos dikedua hal itu. Bagaimana tidak? Aku berjuang keras untuk itu.
Maka aku menjalani hari-hari penantian yang mendebarkan itu dengan tenang.
Sayangnya, harap
tak sesuai nyata. Bagaimanapun terkadang Tuhan berkehendak lain daripada apa
yang kita inginkan. Hal yang mengejutkan adalah, bertubi-tubi kegagalan
tiba-tiba menimpaku. Satu demi satu.
Pagi itu, aku
meluncur ke sekolah. Dengan senyum sumringah, aku menuju kelasku. Hari ini
pemberitahuan nilai Ujian. Ah... Aku mengharapkan nilai luar biasa. Kemarin
hasil Ujian telah diumumkan, dan kami dinyatakan lulus. Tapi nilai belum
diberitahukan. Dan hari ini adalah pemberitahuannya.
“Duh, gimana yah
nilaiku?” kata seorang kawanku dengan agak gugup dan gemetar.
“Pasti bagus
deh, kan kita udah belajar,” hiburku sambil tersenyum menenangkan.
“Yah, kalau kamu
pasti bagus deh nilainya, kalau aku mah tanda tanya.”
“Enggak gitu
lah, optimis aja,” ungkapku.
Bu Anna, wali
kelasku, masuk ke ruang kelas. Beliau mulai mengumumkan nilai Ujian terbaik di
kelas kami dan di sekolah. Satu per satu nama disebut. Talia, kawanku tadi
mendapat peringkat 3. Setya di peringkat 2. Lalu nama terakhir, peringkat
pertama, disebutkan. Dan... ia adalah Uliya! Aku terkejut bukan kepalang. Aku
bertanya-tanya, mungkinkah ini hanya mimpiku? Tapi lalu aku mendengar
sorak-sorai tepuk tangan kawan-kawanku. Bagai disengat lebah, aku langsung
sadar kalau ini nyata! Aku tak masuk peringkat apapun. Ya Alloh... Aku tak
percaya ini, kawan-kawanku juga tak percaya. Bagaimana mungkin? Rasanya mati
rasa, aku diam tak bergerak. Aku mencoba membendung air mataku. Aku tak ingin
menangis di hadapan orang lain. Aku tak pernah menangis di hadapan
teman-temanku.
Beberapa
kawan-kawan menghiburku, begitu juga dengan guru-guruku. Tapi semua tak
membantu. Aku masih tetap pada kesedihanku. Namun, dengan tegar aku mengucapkan
selamat pada Talia, Setya, dan Uliya. Tepatnya berpura-pura tegar! Kupaksakan
bibirku untuk menyunggingkan senyum bahagia. Yah, aku memang berbahagia untuk
mereka. Tapi aku tak menyangkal bahwa hatiku hancur. Dan juga aku tak mau orang
lain tahu bahwa aku sangat... sedih.
Hari itu juga
pengumuman SNMPTN. Dengan membawa sisa semangat, aku mencoba berharap. Aku
ingin setidaknya hasil seleksi ini akan sedikit mengobati kesedihan karena
kegagalanku tadi. Sendiri, aku membuka pengumuman SNMPTN. Aku terpaku saat
membaca tulisan di layar monitor, “Maaf, Anda dinyatakan tidak lolos SNMPTN.”
Hatiku terkoyak.
Aku menangis sejadi-jadinya. Air mataku menganak sungai, tumpah ruah mengikuti
kegundahan hati. Aku gagal, aku gagal, aku gagal. Aku bingung. Entah aku akan
ke mana lagi. Kegagalanku hari itu, membuatku jatuh. Lebih dari apa yang aku
bayangkan. Mungkin kejatuhanku terlalu dalam, hingga aku lama bangkit setelah
itu.
Bertahap, aku
menghibur hatiku. Ini bukan satu-satunya
jalan, banyak yang bilang ada banyak jalan menuju Roma. Dengan penghiburan
kecil itu, aku mencoba mengikuti berbagai seleksi masuk universitas yang ada.
SBMPTN, UMBPT, dan seleksi mandiri lain yang aku dengar. Aku mencoba semuanya.
Berbagai beasiswa aku jajaki pula, dari tingkat nasional hingga international.
Aku mengerahkan semua usaha yang aku bisa. Aku melakukan lebih dari apa yang
aku lakukan. Tak lupa pula aku berdo’a, dzikir, tahajjud, dan melaksanakan
ibadah-ibadah sunnah.
Tapi Alloh
berkehendak lain. Satu demi satu aku membaca pengumuman seleksi yang berbunyi
“Anda tidak lolos” atau “Anda gagal”. Aku berusaha tegar, tentu. Aku yakin
pasti ada salah satu seleksi yang menerimaku. Bukankah Alloh menjamin dalam
salah satu ayat-Nya, “dibalik kesusahan
ada kemudahan”. Bahkan ayat tersebut diulang dua kali. Aku percaya pula,
Alloh Maha Mendengar do’a hamba-Nya, dan setiap do’a yang dipanjatkan seorang
hamba akan dikabulkan. Maka aku terus mencoba, mencoba, dan mencoba.
Sayangnya, aku hanyalah
manusia biasa. Jauh dari sempurna. Manusia yang hina dina dan hanya bisa
meminta. Dua bulan lebih aku berturut-turut menemui kegagalan, akhirnya
semangatku surut. Api yang kunyalakan mulai menghabisi kayu yang kugunakan. Kegagalan
yang bertubi-tubi membuatku kalap. Kesabaran, ketegaran, dan kepercayaanku akan
janji Alloh mulai aku pertanyakan.
Mengapa berjuang
di jalan Alloh begitu sulit? “Menuntut
ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.” Benarkah? Lalu mengapa perkara yang wajib
malah dipersulit jalan menuju ke sana? Tidakkah Alloh adil? Tidakkah Alloh Maha
Baik, Maha Mengabulkan pinta hamba-Nya? Aku berdo’a, lebih banyak daripada
sebelumnya. Aku juga berusaha keras untuk ini. Aku mengerjakan perintah-Nya,
aku menjalankan kewajibanku sebagai hamba-Nya. Setiap hari, beratus-ratus do’a
kupanjatkan. Tidakkah Alloh bosan dengan do’aku? Tidakkah Dia berbelas kasih
padaku.
Aku begitu marah
dan putus asa. Aku menyalahkan Tuhanku, Alloh swt. Tak habis pikir, bagaimana
mungkin seorang hamba yang berikhtiar dan berdo’a begitu intensnya malah tidak
diindahkan. Tetapi seorang kawanku yang biasa saja, tanpa perlu meminta, ia
mendapat apa yang dia inginkan. Mana keadilan yang Dia janjikan?
Ah... begitu
putus asanya diriku, hingga aku berhenti berusaha. Berhenti berdo’a. Berhenti
mengejar mimpi yang aku rajut dengan susah payah. Untuk apa aku berusaha keras,
untuk apa aku berdo’a hingga mulutku berbusa, jika Dia bahkan enggan memberikan
uluran tangan-Nya. Peduli apa aku dengan itu! Dan tanpa kusadari, aku mulai
menjauh dari-Nya.
Aku mengubur list mimpi-mimpiku. Terseok-seok, aku
mencoba bangkit. Menjalani hidup yang begitu sulit diprediksi ini adalah hal
yang melelahkan, tapi aku berusaha lagi. Dengan impian yang berbeda. Aku
mencari-cari alasan agar aku mau ‘bekerja’. Impianku mencicipi indahnya
masa-masa kuliah pupus sudah. Akhirnya aku membelokkan jalan hidupku, aku
memilih untuk mendaftar rekruitmen kerja di sebuah perusahaan di Cikarang.
***
Enam bulan aku
menyibukkan diriku dengan pekerjaanku. Aku mengenyahkan semua kesedihanku
dengan bekerja sampai kelelahan, sampai tak ingat apa-apa. Setiap tetes
keringat yang aku keluarkan mengungkapkan kekecewaanku pada-Nya. Hingga suatu
ketika terjadi hal yang tak pernah aku duga.
Suatu pagi di
bulan Januari, dering handphone membangunkanku
dari istirahat pagiku. Kebetulan hari itu aku mendapat giliran shift malam
sehingga paginya aku libur.
“Hello, is this Miss Isna?” terkejut aku
mendengar sapaan berbahasa Inggris tersebut.
“Yes, I am.”
“Oh,
Miss Isna. I am Mr. Duncan. I want to confirm your application sent in last
August for IA Scholarship. I sincerely tell you that you pass the first review
for obtaining this scholarship. You are
supposed to attend an interview next week in our office at Jalan Pemuda 15
Jakarta.”
Gemetar aku
mendengar pemberitahuan tersebut. Benarkah ini? Kucubit tanganku, kucubit
pipiku. Sakit. Nyatakah? Karena bingung, aku hanya terdiam selama beberapa menit. Kuberanikan
diriku untuk mengkonfirmasi ulang pemberitahuan ini. Mr. Duncan menjelaskan
ulang dengan tegas bahwa aku memang lolos tahap 1 untuk memperoleh beasiswa IA
tersebut.
Sungguh kala itu
perasaanku campur aduk dan ‘luar biasa’. Luar biasa kaget, luar biasa bingung,
luar biasa tak percaya, dan luar biasa...bahagia. Air mata mengalir menunjukkan
emosi kebahagiaan dari diriku. Aku sedih sekaligus bahagia. Sedih, karena aku
sempat tak percaya pada Alloh swt bahwa Dia akan mengabulkan pinta hamba-Nya.
Sedih, karena aku telah menyangsikan kekuasaan-Nya. Sedih, karena aku telah
menjauh dari-Nya padahal pertolongan-Nya amat sangat nyata. Isak tangis
mewarnai sujud syukurku pagi itu.
***
Kuhapus air mata
penyesalan yang mengalir pelan di pipi. Kenangan dua tahun silam itu tak akan
pernah kulupakan. Sebuah pelajaran hidup berharga. Kini aku memahami apa yang
sebenarnya terjadi. Alloh mengujiku. Dia ingin aku merasakan sebuah perasaan
jatuh, Dia ingin aku merasakan bagaimana mengalami kegagalan. Dia ingin
membuatku lebih kuat. Dia ingin aku memahami bahwa kegagalan dan kesuksesan
adalah bagian dari hidup, dan keduanya pasti silih berganti.
Perasaan syukur
merayapi kalbuku. Bibirku membentuk senyum bahagia, mengingat nikmat Alloh yang
telah Ia limpahkan untukku. Alhamdulillahirobbil’alamin...
Terima kasih ya Alloh, Engkau telah memberiku kesempatan untuk mengagumi
langit jingga-Mu di atas kota Melbourne...
“Maka
nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman:13)
*Cerpen ini diikutkan dalam kompetisi cerpen Sigma, Juni 2014
Masya Allah. Di tunggu tulisan selanjutnya Mba ^_^
BalasHapusTerima kasih Titin :)
BalasHapus