Menghitung Nikmat-Mu lewat Jingga Senja-Mu

by 05.13 2 comment


Lukisan langit senja adalah kesukaanku. Karya luar biasa ciptaan Yang Maha Kuasa. Menikmati langit senja tak pernah kulewatkan. Langit yang bersemu jingga dan nampak seperti bertaburan emas, amat menawan hati. Hingga kini aku selalu memuji keindahannya. Betapa Tuhanku adalah Tuhan Yang Maha Baik, memberikan pemandangan seindah ini secara gratis dan kontinu setiap hari.
Rasa syukurku kian bertambah kala aku menyaksikan jingga langit senja. Ah... betapa Alloh sangat baik padaku. Nikmat yang Dia curahkan untukku rasanya teramat banyak. Amat sangat banyak. Tak terasa air mata ini mulai menitik... Ya Alloh, sungguh Engkau adalah Tuhanku yang Maha Agung. Maafkan aku, dulu aku sempat membenciMu...
***
Menjadi mahasiswa adalah keinginanku. Keinginan terbesarku saat aku duduk di bangku SMA. Bersama kawan-kawanku, aku mencoba merangkai asa. Satu demi satu, aku mulai membangun mimpi-mimpiku dan mencoba merajutnya menjadi nyata. Mulai dari masuk SMK favorit, menjadi siswa berprestasi, aktivis di sekolah dan mimpi-mimpi anak muda lainnya. Jiwaku yang masih fresh merasa sangat bergairah kala itu. Bekerja keras, berusaha melakukan dan menjadi yang terbaik, adalah prinsip hidupku.
Hari-hariku tak pernah lepas dari belajar, belajar, dan belajar. Bahkan aku jarang menghabiskan waktu bermain. Buku, ibarat tv bagiku. Buku memberiku kesenangan. Tak jarang karena itu, aku diolok-olok temanku. Kutu buku, bookers, study holic? Aku tak ambil pusing dengan julukan itu. Aku berbeda? Memang apa salahnya? Pokoknya bagi sebagian orang, hidupku terlihat sangat sangat membosankan.
Sejalan dengan kerja kerasku itu, alhamdulillah, aku selalu mendapat apa yang aku inginkan. Semuanya terlihat mudah, aku sangat bersyukur untuk itu. Aku merasa aku bisa mendapatkan apapun yang aku inginkan. Apapun! Sayangnya, kemudahanku mendapatkan semua inginku hanya berlangsung sampai aku kelas 3 awal. Entah ke mana, semua keberuntunganku lenyap. Lalu, hari demi hari di berbagai kesempatan aku menemukan diriku terombang-ambing dalam ketidakpastian.

***

Kelas 3, masa penghujung SMK. Di tengah kesibukan menghadapi Ujian Akhir Nasional, aku harus pula memulai merencanakan kelanjutan studiku. Akan ke mana aku menuntut ilmu selanjutnya? Di mana? Bagaimana? Dan bidang apa yang akan kuambil.
Saat itu, banyak guru-guru dan kawan-kawanku membantuku. Mereka memberikan pandangan mereka mengenai rencana kuliahku. Beberapa kampus mereka rekomendasikan untuk menjadi tujuan belajarku. Ah... sungguh aku dikelilingi orang yang baik, amat sangat baik. Tentu aku bersyukur untuk itu.
Setelah menimbang ini itu dan mendengarkan ocehan sana-sini, dengan percaya diri aku mendaftarkan diriku dalam SNMPTN di Universitas X dengan mengambil jurusan A. Semua orang di sekitarku mendukungku. Mereka percaya aku pasti lolos seleksi tersebut. Begitu pula denganku, aku amat yakin aku akan diterima.
Hari-hari setelah pendaftaran SNMPTN, aku menyibukkan diriku untuk belajar menghadapi Ujian Akhir Nasional. Suasana sekolah juga membuatku berkutat pada buku-buku latihan soal. Guru-guru benar-benar membimbing kami dengan keras dan ketat. Tak hanya itu, bahkan jam sekolah ikutan ditambah. Benar-benar paket plus-plus. Hal yang positif adalah, kami dapat bertempur dengan soal-soal Ujian Nasional dengan baik.
Ujian Nasional sudah berlalu. Detik-detik yang menegangkan telah usai. Kini aku menanti pengumuman Ujian Nasional sekaligus pengumuman SNMPTN. Ah... Aku yakin sekali aku akan lolos dikedua hal itu. Bagaimana tidak? Aku berjuang keras untuk itu. Maka aku menjalani hari-hari penantian yang mendebarkan itu dengan tenang.
Sayangnya, harap tak sesuai nyata. Bagaimanapun terkadang Tuhan berkehendak lain daripada apa yang kita inginkan. Hal yang mengejutkan adalah, bertubi-tubi kegagalan tiba-tiba menimpaku. Satu demi satu.
Pagi itu, aku meluncur ke sekolah. Dengan senyum sumringah, aku menuju kelasku. Hari ini pemberitahuan nilai Ujian. Ah... Aku mengharapkan nilai luar biasa. Kemarin hasil Ujian telah diumumkan, dan kami dinyatakan lulus. Tapi nilai belum diberitahukan. Dan hari ini adalah pemberitahuannya.
“Duh, gimana yah nilaiku?” kata seorang kawanku dengan agak gugup dan gemetar.
“Pasti bagus deh, kan kita udah belajar,” hiburku sambil tersenyum menenangkan.
“Yah, kalau kamu pasti bagus deh nilainya, kalau aku mah tanda tanya.”
“Enggak gitu lah, optimis aja,” ungkapku.
Bu Anna, wali kelasku, masuk ke ruang kelas. Beliau mulai mengumumkan nilai Ujian terbaik di kelas kami dan di sekolah. Satu per satu nama disebut. Talia, kawanku tadi mendapat peringkat 3. Setya di peringkat 2. Lalu nama terakhir, peringkat pertama, disebutkan. Dan... ia adalah Uliya! Aku terkejut bukan kepalang. Aku bertanya-tanya, mungkinkah ini hanya mimpiku? Tapi lalu aku mendengar sorak-sorai tepuk tangan kawan-kawanku. Bagai disengat lebah, aku langsung sadar kalau ini nyata! Aku tak masuk peringkat apapun. Ya Alloh... Aku tak percaya ini, kawan-kawanku juga tak percaya. Bagaimana mungkin? Rasanya mati rasa, aku diam tak bergerak. Aku mencoba membendung air mataku. Aku tak ingin menangis di hadapan orang lain. Aku tak pernah menangis di hadapan teman-temanku.
Beberapa kawan-kawan menghiburku, begitu juga dengan guru-guruku. Tapi semua tak membantu. Aku masih tetap pada kesedihanku. Namun, dengan tegar aku mengucapkan selamat pada Talia, Setya, dan Uliya. Tepatnya berpura-pura tegar! Kupaksakan bibirku untuk menyunggingkan senyum bahagia. Yah, aku memang berbahagia untuk mereka. Tapi aku tak menyangkal bahwa hatiku hancur. Dan juga aku tak mau orang lain tahu bahwa aku sangat... sedih.  
Hari itu juga pengumuman SNMPTN. Dengan membawa sisa semangat, aku mencoba berharap. Aku ingin setidaknya hasil seleksi ini akan sedikit mengobati kesedihan karena kegagalanku tadi. Sendiri, aku membuka pengumuman SNMPTN. Aku terpaku saat membaca tulisan di layar monitor, “Maaf, Anda dinyatakan tidak lolos SNMPTN.”
Hatiku terkoyak. Aku menangis sejadi-jadinya. Air mataku menganak sungai, tumpah ruah mengikuti kegundahan hati. Aku gagal, aku gagal, aku gagal. Aku bingung. Entah aku akan ke mana lagi. Kegagalanku hari itu, membuatku jatuh. Lebih dari apa yang aku bayangkan. Mungkin kejatuhanku terlalu dalam, hingga aku lama bangkit setelah itu.
Bertahap, aku menghibur hatiku. Ini bukan satu-satunya jalan, banyak yang bilang ada banyak jalan menuju Roma. Dengan penghiburan kecil itu, aku mencoba mengikuti berbagai seleksi masuk universitas yang ada. SBMPTN, UMBPT, dan seleksi mandiri lain yang aku dengar. Aku mencoba semuanya. Berbagai beasiswa aku jajaki pula, dari tingkat nasional hingga international. Aku mengerahkan semua usaha yang aku bisa. Aku melakukan lebih dari apa yang aku lakukan. Tak lupa pula aku berdo’a, dzikir, tahajjud, dan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah.
Tapi Alloh berkehendak lain. Satu demi satu aku membaca pengumuman seleksi yang berbunyi “Anda tidak lolos” atau “Anda gagal”. Aku berusaha tegar, tentu. Aku yakin pasti ada salah satu seleksi yang menerimaku. Bukankah Alloh menjamin dalam salah satu ayat-Nya, “dibalik kesusahan ada kemudahan”. Bahkan ayat tersebut diulang dua kali. Aku percaya pula, Alloh Maha Mendengar do’a hamba-Nya, dan setiap do’a yang dipanjatkan seorang hamba akan dikabulkan. Maka aku terus mencoba, mencoba, dan mencoba.
Sayangnya, aku hanyalah manusia biasa. Jauh dari sempurna. Manusia yang hina dina dan hanya bisa meminta. Dua bulan lebih aku berturut-turut menemui kegagalan, akhirnya semangatku surut. Api yang kunyalakan mulai menghabisi kayu yang kugunakan. Kegagalan yang bertubi-tubi membuatku kalap. Kesabaran, ketegaran, dan kepercayaanku akan janji Alloh mulai aku pertanyakan.
Mengapa berjuang di jalan Alloh begitu sulit? “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.”  Benarkah? Lalu mengapa perkara yang wajib malah dipersulit jalan menuju ke sana? Tidakkah Alloh adil? Tidakkah Alloh Maha Baik, Maha Mengabulkan pinta hamba-Nya? Aku berdo’a, lebih banyak daripada sebelumnya. Aku juga berusaha keras untuk ini. Aku mengerjakan perintah-Nya, aku menjalankan kewajibanku sebagai hamba-Nya. Setiap hari, beratus-ratus do’a kupanjatkan. Tidakkah Alloh bosan dengan do’aku? Tidakkah Dia berbelas kasih padaku.
Aku begitu marah dan putus asa. Aku menyalahkan Tuhanku, Alloh swt. Tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang hamba yang berikhtiar dan berdo’a begitu intensnya malah tidak diindahkan. Tetapi seorang kawanku yang biasa saja, tanpa perlu meminta, ia mendapat apa yang dia inginkan. Mana keadilan yang Dia janjikan?
Ah... begitu putus asanya diriku, hingga aku berhenti berusaha. Berhenti berdo’a. Berhenti mengejar mimpi yang aku rajut dengan susah payah. Untuk apa aku berusaha keras, untuk apa aku berdo’a hingga mulutku berbusa, jika Dia bahkan enggan memberikan uluran tangan-Nya. Peduli apa aku dengan itu! Dan tanpa kusadari, aku mulai menjauh dari-Nya.
Aku mengubur list mimpi-mimpiku. Terseok-seok, aku mencoba bangkit. Menjalani hidup yang begitu sulit diprediksi ini adalah hal yang melelahkan, tapi aku berusaha lagi. Dengan impian yang berbeda. Aku mencari-cari alasan agar aku mau ‘bekerja’. Impianku mencicipi indahnya masa-masa kuliah pupus sudah. Akhirnya aku membelokkan jalan hidupku, aku memilih untuk mendaftar rekruitmen kerja di sebuah perusahaan di Cikarang.

***

Enam bulan aku menyibukkan diriku dengan pekerjaanku. Aku mengenyahkan semua kesedihanku dengan bekerja sampai kelelahan, sampai tak ingat apa-apa. Setiap tetes keringat yang aku keluarkan mengungkapkan kekecewaanku pada-Nya. Hingga suatu ketika terjadi hal yang tak pernah aku duga.
Suatu pagi di bulan Januari, dering handphone membangunkanku dari istirahat pagiku. Kebetulan hari itu aku mendapat giliran shift malam sehingga paginya aku libur.
Hello, is this Miss Isna?” terkejut aku mendengar sapaan berbahasa Inggris tersebut.
Yes, I am.
“Oh, Miss Isna. I am Mr. Duncan. I want to confirm your application sent in last August for IA Scholarship. I sincerely tell you that you pass the first review for obtaining this scholarship.  You are supposed to attend an interview next week in our office at Jalan Pemuda 15 Jakarta.”
Gemetar aku mendengar pemberitahuan tersebut. Benarkah ini? Kucubit tanganku, kucubit pipiku. Sakit. Nyatakah? Karena bingung, aku hanya terdiam selama beberapa menit. Kuberanikan diriku untuk mengkonfirmasi ulang pemberitahuan ini. Mr. Duncan menjelaskan ulang dengan tegas bahwa aku memang lolos tahap 1 untuk memperoleh beasiswa IA tersebut.
Sungguh kala itu perasaanku campur aduk dan ‘luar biasa’. Luar biasa kaget, luar biasa bingung, luar biasa tak percaya, dan luar biasa...bahagia. Air mata mengalir menunjukkan emosi kebahagiaan dari diriku. Aku sedih sekaligus bahagia. Sedih, karena aku sempat tak percaya pada Alloh swt bahwa Dia akan mengabulkan pinta hamba-Nya. Sedih, karena aku telah menyangsikan kekuasaan-Nya. Sedih, karena aku telah menjauh dari-Nya padahal pertolongan-Nya amat sangat nyata. Isak tangis mewarnai sujud syukurku pagi itu.

***

Kuhapus air mata penyesalan yang mengalir pelan di pipi. Kenangan dua tahun silam itu tak akan pernah kulupakan. Sebuah pelajaran hidup berharga. Kini aku memahami apa yang sebenarnya terjadi. Alloh mengujiku. Dia ingin aku merasakan sebuah perasaan jatuh, Dia ingin aku merasakan bagaimana mengalami kegagalan. Dia ingin membuatku lebih kuat. Dia ingin aku memahami bahwa kegagalan dan kesuksesan adalah bagian dari hidup, dan keduanya pasti silih berganti.
Perasaan syukur merayapi kalbuku. Bibirku membentuk senyum bahagia, mengingat nikmat Alloh yang telah Ia limpahkan untukku. Alhamdulillahirobbil’alamin... Terima kasih ya Alloh, Engkau telah memberiku kesempatan untuk mengagumi langit jingga-Mu di atas kota Melbourne...

“Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman:13)

*Cerpen ini diikutkan dalam kompetisi cerpen Sigma, Juni 2014

skyavis.blogspot.com

Author

An ordinary person with abundance dreams, very keen on books, movies, and musics.

2 komentar: